
Oleh: Dr. Solahuddin Harahap, MA
(Ketua DPP Gerakan Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan)
Gardamedannews.com-MEDAN-Peradaban adalah kata lain dari “al-risālah” yang bermakna misi universal penghuni bumi, secara spesifik lebih dikenal dengan misi universal para rasul pilihan Allah Swr. Lewat pemaknaan ini, maka membangun peradaban dapat dilihat sebagai kewajiban bersama (fardhu kifāyah) ole seluruh penghuni bumi. Tidak berlebihan jika disebut bahwa kaum muslim adalah yang paling bertanggungjawab terhadap pembangunan peradaban bumi, mengingat posisinya sebagai mengemban amanah suci atau penerus risālah seluruh rasul Allah Awt di bumi. Dalam kazhanah Teologi Islam, telah umum dipahami bahwa pada hakikatnya hanya ada satu risalah yang diemban secara bersama-sama oleh para rasul, sehingga semua rasul dari Adam As hingga Muhammad Saw, pada hakikatnya hanya mengusung satu peradaban mulia.
Menarik sekali, ketika para ulama menegaskan bahwa inti dari risalah para rasul adalah “tauhîdillāh” yakni pengesaan Allah Swt, sehingga dapat disebut kalau inti dari peradaban mulia itu adalah tauhid itu sendiri. Konsisten terhadap hal itu, maka inti dari upaya pembangunan peradaban dunia adalah penegakan tauhîdillāh itu sendiri dalam kehidupan di bumi. Terhadap hal ini, Allah Swt telah berfirman sebagai berikut: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada AIlah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. al-Anbiyā: 25). Pada ayat lain, Allah Swt telah berfirman sebagai berikut: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’” (QS. an-Nahl: 36).
Tidak berhenti pada penjelasan tersebut, al-Qur’ān telah pula merekam testimoni beberapa rasul sebagai berikut: Pertama, Testimoni Nuh As sebagai berikut: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya“. (QS. Al A’raf: 59). Kedua, testimoni Luth As, sebagai berikut: “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”” (QS. Al A’raf: 65). Ketiga, testimoni Nabi Saleh As sebagai berikut: “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya. (QS. Al A’raf: 73). Keempat, testimony Nabi Su’aib sebagai berikut: “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya. (QS. Al A’raf: 85). Kelima, testimoni Nabi Ibrahim As: “Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah semata dan bertakwalah kepada-Nya’.” (QS.Al-Ankabut : 16).
Keenam, Testimoni Nabi Isa As, sebagai berikut: “Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu“, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. (QS. al-Maidah: 117). Ketujuh, testimoni Rasulullah Muhammad Saw, sebagai berikut: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah semata dengan memurnikan semua ibadahnya hanya kepadaNya” (QS. Al-Zumar : 11). Demikian al-Qur’ān menegaskan posisi tauhîdillāh sebagai inti dari risalah seterusnya inti dari peradaban mulia, dan oleh karena peradaban mulia ini hanya mungkin lahir dari karya manusia-manusia sejati (living by fithrah), maka sangat penting untuk melihat huhungan antara ramadhān, pencapaian fithrah dengan penegakan peradaban mulia.
UREGNSI FITHRAH
Secara bahasa, telah terdapat sejumlah makna yang dapat disandarkan kepada kata fithrah ini. Dalam salah satu ayat al-Qur’ān misalnya Allah Swt menegaskan bahwa fithrah itu identik dengan sifat Allah Swt, yang melaluinya Allah Swt menciptakan manusia. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. (Q.S. al-Rùm: 30). Konsisten terhadap ayat ini, maka fihrah dapat dilihat sebagai konsepsi awal (takwîniyyah) penciptaan manusia dimana pada konsep ini manusia telah diberi fungsi dan tugas utama yakni sebagai hamba Allah Swt ( ‘abdullāh), sekaligus sebagai wakil Allah Swt dalam urusan pengendalian dan pemeliharaan alam semesta (khalîfatullāh fî al-ardh).
Berdasarkan hal di atas, maka istilah kembali ke fihrah (‘ídullfihrí) sebagai kata lain dari pencapaian taqwa dalam konteks Ibadah Ramadhan, dapat dimaknai sebagai kembalinya manusia kepada konsepsi awal penciptaannya. Terdapat dua kesadaran mendasar yang dimiliki manusia pada konsepsi dasar ini yakni: (1) kesadaran akan posisinya sebagai hamba Allah swt, dimana untuk kesadaran itu manusia akan selalu konsisten dalam mendeklarasikan penegakan tauhîdillah di bumi; (2) kesadaran akan posisinya sebagai wakil Allah Swt di bumi (khalífatullāh), yang untuk kesadaran tersebut, maka manusia akan selalu konsisten dalam mendeklarasikan pentingnya pemeliharaan, perbaikan, dan pemberdayaan bumi (al-ishlāhah fî al-ardh). Dua kesadaran inilah yang oleh para rasul dapat dijaga secara konsisten sehingga mereka patut diberi amanah untuk mengemban penegakan risalah atau peradaban mulia di bumi ini.
Penting memahami hubungan antara kesadaran tauhîdillah dengan tugas-tugas penegakan risalah atau peradaban mulia tersebut. Kesadaran tauhîdillah dapat dilihat sebagai identik dengan dua kesadaran lainnya, yakni: (1) kesadaran logis atau rasional dimana logika yang sehat akan menolak keberadaan tuhan lain selain Allah Swt, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’ān Surah al-Anbiyā: 22: “sekaranya ada tuhan lain selain Allah Swt yang mengendalikan langit dan bumi, maka pastilah akan terjadi kehancuran dan kerusakan”. (2) kesadaran ruh, bahwa qalbu yang sehat akan dapat menyaksikan keberadaan Allah Swt sebagai Tuhan, sebagaimana diisyaratkan Allah Swt dalam al-Qur’ān Surah al-A’ráf: 172: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”.
Kedua kesadaran logis dan kesadaran ruh ini perlu dihidupkan secara integratif dalam diri manusia sebagai modal utama dalam membaca keterhubungan antara sifat dan asmā Allah Swt dengan wahyu atau kalāmullāh, seterunya dengan sunnatullāh hingga dengan kausalitas yang berlaku di bumi. Memahami keterhubungan ini diperlukan untuk menjadi modal utama dalam memahami karakter setiap yang ada di bumi. Sebab, lewat pemahaman akan karakter wukud-wujud inilah manusia berpeluang untuk bisa mengendalikan, mengelola, serta memelihara bumi beserta isinya. Kesadaran akan posisi sebagai khalîfatullāh sendiri, telah diaktualisasikan terlebih dahulu dengan pengenalan terhadap karakter benda-benda di bumi sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’án Surah al-Baqarah: 30: “Allah mengajarkan kepada Adam As tentang karakter seluruh wujud yang ada di bumi”. Dimana Allah mengajarkan karakter-karakter wujud tersebut bersamaan dengan pengangkatan Adam As sebagai khalifah Allah di bumi.
Mengenali karakter setiap wujud menjadi modal utama dalam menata kehidupan di bumi. Karena itu, keputusan al-Qur’ān dalam menggunakan nama “al-fāfhir” ketika menjelaskan hubungan Allah Swt dengan penciptaan dan pemeliharaan langit dan bumi, telah menjadi isyarat bahwa hanya dengan berpegang teguh kepada karakter kefihraan, seorang manusia akan mampu mengemban tugas-tugas ke khakifaan dibumi, sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur’ān Surah al-Fāthir:1: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)”.
Lebih jauh, menarik sekali ketika dalam ayat ini al-Qur’ān menjelaskan pentingnya keterhubungan antara Allah Swt sebagai “al-Fāthir” dengan para malaikat yang menjadi mitra dalam pengaturan langit dan bumi beserta isinya. Dimana hal ini sekaligus menjadi isyarat bahwa pencapaian fithrah harus juga bermakna kemampuan membangun interaksi dengan para malaikat yang ditugaskan mengurusi keperluan bumi mulai dari penciptaan, pembaruan, pemeliharaan, hingga optimalisasi produksi guna pemenuhan kebutuhan kehidupan. Demikianlah kuatnya keterhubungan antara pencapaian fithrah dengan pembangunan peradaban mulia di bumi. Sehingga setiap kali bertemu dengan idul fithri berarti kita sedang bertemu dengan harapan baru dalam penegakan peradaban mulia di bumi.
PENUTUP
Kembali ke martabat fithrah harus dilihat sebagai upaya untuk kembali kepada kepemilikan qalbu yang bersih hingga dapat menyaksikan Allah Swt dalam kehidupan di bumi. Selanjutnya, kembali ke martabat fihtrah juga harus dilihat sebagai upaya kembali kepada kemampuan menalar atau berfikir secara logis, rasional, dan kritis untuk tetap dapat membaca arah dan dialektika materi dan sejarah perkembangan bumi. Lebih jauh, kembali ke martabat fihrah harus juga dapat berarti upaya kembali untuk membangun interaksi dengan para malaikat yang menjadi mitra dalam mengurus bumi ini, dimana kemitraan dengan malaikat ini telah menjadi bagian dari tradisi para rasul yang menjadi guru peradaban. Lewat tiga upaya inilah, maka kembali ke fihtrah dapat berarti kembali kepada kesadaran bahwa kita adalah murid dan pewaris para rasul dalam membangun peradaban mulia di bumi ini. Wallāhu A’lam.