Prof. Iswandi, “Preman Sambu” Bakal Pimpin UIN Sumut

Gardamedannews.com-MEDAN- Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Medan, sebentar lagi akan dipimpin Rektor baru. Sesuai jadwal, pada 28 Februari 2023, Plt Rektor UIN Sumut terlah membawa seluruh berkas calon Rektor ke Kementerian Agama (Kemenag) RI. Itu artinya, proses pemilihan Rektor UIN Sumut priode 2023-2027 sudah mendekati tahap akhir.

Ada 15 Guru Besar atau Profesor yang jadi calon Rektor UIN Sumut. Tiga di antaranya berasal dari luar UIN Sumut, yaitu, Prof. Syamsul Rizal, Prof. Khairuddin Nasution, dan Prof. Iswandi Syahputra. Belakangan ini, nama yang disebut terakhir justru santer digadang-gadang calon kuat Rektor UIN Sumut.

“ Ah, nggak juga. Semua calon punya peluang yang sama dan semua pantas menjadi Rektor, “ kata Prof. Dr. Iswandi Syahputra, S.Ag, M.Si saat bincang-bincang dengan Gardamedannews.com, Kamis (2/3/2023) siang melalui sambungan selluler, karena saat ini Prof. Iswandi sedang berada di Jerman.

Wakil Rektor I UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini, mengakui kehebatan dan potensi yang dimiliki UIN Sumut. Selain memiliki kampus yang megah dan besar, UIN Sumut juga memiliki empat Wakil Rektor. Di seluruh Indonesia cuma empat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri yang punya empat Wakil Rektor, salah satunya UIN Sumatera Utara Medan.

“ Ditambah lagi jumlah mahasiswanya yang mencapai hampir 40 ribu. UIN Sumut punya daya tarik yang cukup besar, dan punya potensi yang cukup untuk maju pesat, “ jelas Prof. Iswandi Guru besar di program studi ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Untuk menggapai itu, menurut Prof. Iswandi, dibutuhkan solidarity maker di UIN Sumut. Artinya, perlu leadershif mumpuni untuk menyatukan kekuatan yang ada di UIN Sumut. Plus, mengurangi keterlibatan oknum yang punya sejarah di masa lalu. “ Sebab, tidak mungkin membersihkan lantai dengan sapu yang kotor. “ tegas Prof. Iswandi.

Mungkin itu pula lah yang melatari Prof. Iswandi, jika kelak terpilih jadi Rektor UIN Sumut, ia akan berkantor di Fakultas. Maksudnya, dalam 100 hari kerja pertama, Prof. Iswandi akan “nongkrong” selama sepekan di setiap Fakultas. Tujuannya, untuk berkonsultasi dan melihat langsung kinerja pengelola Fakultas, sekaligus menyerap informasi dari bawah. “ Biar kita tahu, mana dosen yang rajin dan mana yang bandal, “ ujar Prof. Iswandi berkelakar.

Selain itu, Prof. Iswandi juga memprioritaskan soal akreditasi. Ia menilai pengelolaan perguruan tinggi itu perlu memenuhi standar mutu yang dijadikan platform. Sehingga semua kegiatan kampus baik akademik dan non akademik lebih berkualitas dan berisi. Kegiatan yang mengacu standar mutu yang harus diakselerasi dan pengembangan kampus harus akreditasi bertaraf internasional. “ Akreditasi internasional yang bermuara pada world class university (WCU) atau kampus kelas dunia menjadi program prioritas, “ tambahnya.

Bagi Prof. Iswandi, Medan bukanlah kota asing. Pria yang lahir di Medan, 23 April 1973 itu, juga pernah merasakan “keras”nya kota Medan. Sejak kelas V Sekolah Dasar (SD) Iswandi kecil sudah “bergaul” dengan preman Pasar Sambu dan Pusat Pasar Medan. Daerah yang sangat angker di Medan kala itu.

Setiap hari ia bangun pukul 03.00 dinihari. Lalu, dengan sepeda buruknya ia berkelana di daerah Sambu, Pasar Sutomo dan Pusat Pasar Medan, untuk berjualan rokok keliling. Ketiga daerah tersebut sejak pukul 01 sudah ramai dikunjungi pedagang dan pembeli kebutuhan pokok.

Pukul 07.00 pagi, ia pun pulang ke rumahnya untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah di SDN Jalan Kakap Medan. Pukul 13.00 Wib, ia pulang dan langsung melanjutkan mengaji di Jalan Gajah Medan. Rutinitas itu dilakoni Iswandi sampai kelas III MTsN. Setelah itu, Iswandi pun meninggalkan kota Medan karena mendapat beasiswa di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 1989.

Setelah menyelesaikan study di Sumatera Barat, Iswandi lanjut program Strata (S) 1 di IAIN Sunan Kalijaga jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, dan lulus pada 1998. Kemudian pada 2004, Iswandi berhasil menyelesaikan study S2-nya di Universitas Indonesia (UI) jurusan Komunikasi. Iswandi terus melanjutkan studynya sampai ia berhasil menyelesaikan S3-nya di Universitas Gadjah Mada jurusan Kajian Budaya dan Media pada 2010.

Pada usia 46 tahun, Iswandi pun bangga bisa meraih gelar Guru Besar atau Profesor dalam bidang Ilmu Komunikasi, sekaligus dia adalah Guru Besar pertama Ilmu Komunikasi di UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Pancaran kebahagiaan itu pantas dimiliki anak bungsu dari 12 bersaudara itu, apalagi Bapaknya hanya seorang penarik beca dan ibunya yang buta huruf.

“ Bapak dan ibu saya mengajarkan, berani mengambil keputusan dan berani mempertanggungjawabkan apa yang telah diputuskan. Dan, yang penting berserah diri kepada Allah. Prinsip ini tetap saya pegang, “ pungkas Prof. Iswandi. Tar