Gardamedannews.com- MEDAN-Gigih, tangguh, dan cantik. Agaknya, inilah kata-kata yang pas menggambarkan sosok Prof. Dr. Nurhayati M.Ag. Perempuan Melayu berdarah Aceh itu, kini menjadi tumpuan pandangan kalangan intelektual di negeri ini, setelah Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Coumas, Selasa 9 Mei 2023, melantiknya menjadi Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Medan priode 2023-2027.
Usai dilantik, Sumringah pun meluncur dari dua katup bibirnya yang mungil. Ia tahu, amanah ini cukup berat. Segudang problema telah menantinya. Tapi, dia tak boleh menyerah, apalagi pasrah. Sebagai wanita, Nurhayati punya kekuatan besar yang tak dimiliki seorang pria. Dari senyumnya yang indah, akan muncul potensi luar biasa. Sebab, Adolf Hitler pun terkulai lunglai karena senyuman seorang wanita.
“ Bersujudlah, karena kedalaman milik hati yang bersujud. Pengukuhan ini memang sebuah kenyataan. Tapi tanpa sujud yang tunjam. Ia akan menjadi kelebat bayang-bayang, “. Begitu nasehat Abah KH D Zawawi Imron, ulama dan budayawan kharismatik, kepada Prof. Nurhayati, dalam penggalan puisinya, saat Nurhayati akan dikukuhkan menjadi Guru Besar atau Profesor pada awal 2002 lalu.
Ketangguhan Nurhayati, secara perlahan sebenarnya sudah mulai terkuak. Lihatlah, ketika seleksi pemilihan Rektor UIN Sumut. Nurhayati adalah satu-satunya perempuan dari 15 Guru Besar yang mendaftar, dan termasuk yang paling muda. Kendati, cuma berpengalaman menjadi dua kali Wakil Dekan dan Kepala Perpustakaan di UIN Sumut, tapi ia berhasil menyisihkan pesaingnya yang sudah punya penglaman mendunia. Mungkin, Menteri Agama meyakini kalau dalam diri Nurhayati ada “energi akbar” yang mampu menerbangkan UIN Sumut ke era gemilangnya.
Contoh lain, kendati hidup sendiri, setelah suaminya Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis meninggal pada 2016, Nurhayati berhasil mensarjanakan empat anaknya. Risyad Fakar Lubis, MAP, Naufal Dzaki Lubis, S.Sos, Fikri Mahir Lubis, S.Sos dan Maurits Arif Fathoni Lubis yang masih menuntut ilmu di ITB (Institut Tekhnologi Bandung ). “ Beban ummi cukup berat, tapi ummi tak pernah mengeluh. Saya belajar banyak dari ummi, “ ujar Fikri Mahir Lubis, mengomentari keberhasilan ibunya, Prof. Nurhayati.
Memang, Nurhayati punya pengelaman sekelumit di tingkatan kepemimpinan. Namun, ia memiliki “pelajaran penting” saat mendampingi suaminya, Nur Ahmad Fadhil Lubis, ketika menjadi Rektor UIN Sumut priode 2010-2014. Bahkan, di masa Nur Ahmad Fadhil Lubis IAIN berhasil menjadi UIN. Dari sinilah Prof. Nurhayati banyak belajar tentang kepemimpinan dan “mencuri” ilmu dari suaminya bagaimana cara membesarkan UIN Sumut.
Prof. Nurhayati bukan hanya tangguh, tapi juga gigih. Kateristik ini sudah terlihat sejak ia masih kecil. Dikutip dari berbagai sumber, Nurhayati dilahirkan pada 18 Agustus 1975 di desa Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menjelang tengah malam. Ia adalah putri kedua dari enam bersaudara buah hasil kasih sayang orang tuanya, Naharuddin dan Ramlah. Nurhayati dibesarkan dalam keluarga yang cukup, karena orang tuanya pengusaha kayu arang yang populer waktu itu.
Mulanya Nurhayati diberi nama Fatimah Dora. Mungkin, orang tuanya mengadopsi dari nama putri kesayangan Rasulullah, Fatimah Azzahra. Namun, nama ini hanya bertahan selama setahun. Fatimah sering sakit-sakitan, sehingga orang tuanya berkesimpulan nama itu tak cocok untuknya. Akhirnya, Fatimah berganti nama dengan Nurhayati yang berarti cahaya kehidupan. Uniknya lagi, kendati berganti nama, ia kerap dipanggil Adek di lingkungan keluarganya. Bahkan, sampai saat ini nama “Adek” lebih populer dibanding Nurhayati.
Fatimah, Nurhayati dan Adek, adalah tiga nama yang terintegrasi dalam satu paras yang cantik dan menawan. Sejak kecil, pemilik tiga nama ini memang kerap menunjukkan kelincahannya, apalagi dalam pergaulannya. Makanya, tak heran kalau masa itu, ia juga punya julukan lain yaitu “perempuan tomboy”.
Usai menamatkan Sekolah Dasar (SD), Nurhayati memilih Pesantren Dayah, Madrasah Ulumul Quran, Langsa, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya. Selama enam tahun Nurhayati bergelut di Pesantren ini, sampai menamatkan Aliyah. Waktunya dihabiskan untuk menghafal Alquran, belajar bahasa Arab dan Inggeris. Ia pun menjadi santri yang berperestasi. Nurhayati sangat gemar dan menekuni mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibanding Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Maklum, Nurhayati bercita-cita kuat ingin menjadi dokter. Alasannya, menjadi seorang dokter bisa langsung membantu masyarakat dalam bidang kesehatan.
Tekadnya untuk menjadi dokter cukup kuat. Karenanya, setelah tamat dari Pesantren, Nurhayati ikut tes di Fakultas Kedokteran. Sayang, keberuntungan tidak berpihak padanya. Nurhayati gagal masuk Fakultas Kdokteran, kendati restu orang tua dan modal sudah dipersiapkannya.
Apa boleh buat, akhirnya Nurhayati memilih IAIN Medan sebagai pelabuhan pendidikannya. Ia terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Syariah Stambuk 1994 di Program Studi (Prodi) Peradilan Agama (PA). Begitupun, di tahun berikutnya, Nurhayati mencoba lagi tes di Fakultas Kedokteran. Tapi, tetap gagal.
Dan, ia tetap melanjutkan studi di IAIN Medan. Pada 1999, Nurhayati berhasil menyelesaikan study S1-nya dengan Indeks Perestasi 3,81. Saat Wisuda Sarjana XXXI IAIN Sumatera Utara, Nurhayati memperoleh piagam penghargaan sebagai alumni terbaik dari Rektor IAIN Sumut, waktu itu, Prof. Dr. H.A. Ya’qub Matondang, MA.
Tak berhenti di situ. Nurhayati pun melanjutkan studi di Pasca Sarjana IAIN Sumut. Ia berhasil menyelesaikan program S2-nya dengan Indeks Perestasi 3.50. Perestasi yang cukup membanggakan. Studi tetap berlanjut. Pada 2010, Nurhayati mengikuti program S3 di IAIN Sumut. Setelah berhasil, Nurhayati sempat mendapat kepercayaan menjadi Wakil Dekan selama dua kali. Dan, pada masa Rektor Prof. Syahrin, Nurhayati dipercaya sebagai Kepala Perpustakaan UIN Sumut.
Terhitung sejak 1 Desember 2021, Nurhayati resmi menyandang gelar Guru Besar atau Profesor dalam bidang ilmu Fikih dengan spesifikasi Fiqih Integratif. Penganugerahan gelar itu dilaksanakan tepat pada Hari Amal Bakti (HAB) 3 Januari 2022 di Kemenag Jakarta.
Bagi Nurhayati, pencapaian itu sungguh sangat berarti dalam hidupnya. Sekaligus, ini membuktikan hasil dari kegigihannya dalam menggapai cita-cita. Kendati ia gagal menjadi dokter, tapi ia berhasil menjadi Doktor, bahkan lebih dari itu. Artinya, keinginannya untuk membantu masyarakat secara langsung, bisa diwujudkannya melalui jabatannya yang sekarang, Rektor UIN Sumatera Utara, Medan.
Kegigihan dan ketangguhan Nurhayati telah ditunjukkannya dalam bidang pendidikan. Lalu, bagaimana lika-likunya dalam bercinta, khususnya dengan Prof. Fadhil ? Tunggu besok ya. Tar