Gardamedannews.com- MEDAN- Cerita tentang pemilihan Rektor Univertsitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Medan, makin menarik. Bukan hanya tertumpu pada sosok atau figur yang akan menjadi Rektor, tapi juga pada prosesnya.
Mungkin, ada proses yang timpang dalam pemilihan Rektor UIN. Paling tidak, inilah yang disoroti pengamat politik dan akademisi Sumatera Utara, Dr. Shohibul Anshor Siregar, M.Si. Menurut pria kelahiran Tarutung 14 Maret 1958 ini, Guru Besar atau Profesor yang ada di UIN Sumut harus berani menggunakan otoritas akademik,menuntut pembatalan regulasi yang berlaku tentang proses pemilihan Rektor UIN Sumut.
“ Kalau Saiful Mujani mengatakan sistem itu jahiliyah. Kalau menurut saya, ketentuan itu sangat buruk dan harus dibatalkan, “ tegas Shohibul Anshor pada Gardamedannews.com, Selasa (14/2/2023) dinihari.
Beberapa waktu lalu, Saiful Mujani menyatakan sistem pemilihan Rektor UIN oleh Menteri Agama jahiliyah. Pernyataan itu disampaikan Saiful saat berlangsungnya proses pemilihan Rektor UIN Jakarta. Kendati masa jabatan Rektor UIN Jakarta, Prof. Amani Lubis telah habis, tokh Menteri Agama belum menetapkan Rektor defenitif. Malah, dengan alasan klasik, Menag memperpanjang masa jabatan Prof. Amani Lubis.
Shohibul Anshor bercerita, beberapa hari lalu ia bertemu dengan salah seorang Guru Besar UIN Sumut di aula kantor Gubsu. Sang Guru Besar menyebutkan, beberapa Guru Besar di UIN Sumut sepakat Rektor ke depan harus dari luar, paling tidak satu priode. Ini dimaksudkan untuk menjaga conflict of interrest. Sebab, jika tidak dari luar, figur yang ada pasti memiliki tali temali dengan pihak yang menjadi bagian kerumitan di UIN Sumut.
Ternyata, Shohibul Anshor tak tertarik dengan kesepakatan itu. Menurutnya, kerumitan yang dihadapi UIN Sumut itu, sifatnya sistemik. Justru di balik kesepakatan itu terdapat tuduhan stigmatif yang sangat merugikan UIN Sumut. “ Saya tak sependapat kalau Guru Besar UIN Sumut menyimpulkan seperti itu, “ ujar Shohibul Anshor yang menyelesaikan program Master-nya di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta pada 1996.
Karena itu pula, Shohibul Anshor menyarankan agar semua Guru Besar yang telah memenuhi syarat menjadi calon Rektor UIN Sumut, untuk berikrar di hadapan pelaksana Tugas (Plt) Rektor, Civitas Akademik, dan MUI Sumut. Isinya, akan mengikuti seleksi ini dengan sejujur-jujurnya, sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Kemudian, jika terpilih akan mengakomodir semua calon-calon yang mendaftar untuk mengisi jabatan yang tersedia.
“ Selain itu, semua calon Rektor dilarang berhubungan dengan siapa pun atau yang terkoneksi di jajaran Kementerian Agama yang terlibat dalam sistem pemilihan Rektor ini, “ jelas Shohibul.
Ada juga ide yang menarik dari Shohibul Anshor. Ia berharap agar semua calon rektor dipimpin Plt Rektor, menemui Kapoldasu, Kejatisu dan KPK. Di hadapan lembaga hukum itu, Plt rektor meminta agar aparat ikut mengawasi jalannya pemilihan Rektor UIN Sumut. Ide ini memang cukup baik, mengingat lembaga hukum itu memiliki alat dan intelejen canggih untuk menyerap semua pembicaraan yang mengarah pada money politik.
“ Kalau pun situasi di UIN Sumut ini genting, bagi saya tak ada korelasi antara kondisi yang pasti akan lebih baik bagi UIN Sumut ke depan dengan Rektor dari dalam atau luar UIN Sumut, “ cetus Shohibul.
Untuk itu, ada satu hal yang penting. Yaitu, meyakikan civitas akademika UIN Sumut, bahwa mereka adalah insan-insan yang kedudukannya di depan hukum dan kesempatannya untuk menyalurkan kemampuan dalam berbakti kepada negeri, tidak lebih rendah dan tidak lebih kecil, dibandingkan civitas akademika lainnya, yang kini sama-sama berebut jabatan Rektor UIN Sumut.
Di mata Shohibul Anshor, dunia akademi berbeda dengan suasana politik. Ia mencontohkan. Ketika Presiden Soekarno jatuh di era 1960-an, semua yang berbau Soekarno dianggap buruk, dan dinyatakan terlarang. Begitu juga ketika Presiden Soeharto jatuh, semua yang berbau Soeharto direndahkan oleh rezim setelahnya. Padahal, semua penilaian itu bukan dilakukan secara objektif, tapi hanya bersifat politis.
“ Makanya, apa yang baik telah dilakukan Rektor sebelumnya, harus dilanjutkan dan diapresiasi. Jangan takut kehilangan pamor. Sebab, dunia akademik berbeda jauh dengan nuansa politik, “ pungkas Shohibul Anshor Siregar. Tar