Prof. Nurhayati Harus Mampu Ciptakan “Ke Depan No More Problem”

Oleh: Dr. Shohibul Ansor Siregar

 Gardamedannews.com- MEDAN-Menurut sistim yang dijalankan, Prof Dr Nurhayati, M.Ag, yang beberapa hari lalu akhirnya telah dilantik menjadi Rektor UINSU untuk periode 2023-2027, harus dinyatakan sebagai figur terbaik di antara para calon yang “berebut” jabatan itu. Soal ada orang yang kurang setuju atau bahkan protes atas sistim yang berlaku, itu hal lain.

Orang harus mampu berfikir fair. Tentu tidak salah dibuat forum yang serius berskala nasional untuk membahas apa yang dinilai sebagai ketidakelokan sistim yang berlaku itu. Tetapi kini, terimalah, pemegang mandat telah hadir di UINSU dan diharapkan dengan legitimasinya itu ia dapat mengemban amanah dengan sebaik-baiknya.

*****

Teringat ketika tempohari berlangsung proses seleksi, secara tak kebetulan bertemu dengan seorang guru besar dari UINSU yang menyampaikan bahwa sebuah forum informal guru besar di kampus itu telah sepakat agar rektor mendatang sebaiknya dropping. Saya tegas menolaknya dan meminta bahwa jika mungkin diselenggarakan lagi forum serupa atau malah yang skalanya lebih besar. Beri saya kesempatan berbicara dalam forum itu. Saya tak setuju ada nada peyoratif yang merendahkan “akademisi yang memilih homebase di kampus yang ada daerah” dan sekaligus menolak kesan merendahkan integritasnya.

Problem integritas itu akarnya di pusat kekuasaan, karena faktanya cabang-cabang kekuasaan di mana pun di ujung dunia ini hanya terpaksa harus mengadaptasi diri atas dikte imperatif yang tak menyisakan opsi apa pun kecuali monoloyalitas kaku. Sebesar apa kehancuran moral akademik, inefisiensi, disorientasi dan deviasi lainnya dengan tragedi semacam itu, civitas akademika memerlukan perenungan mendalam. Walaupun forum informal guru besar yang saya minta tidak pernah terjadi, namun saya merasa telah menyeberangkan pemikiran kritis kepada komunitas itu melalui salah seorang partisipannya.

*****

Tak salah sejak detik pertama menduduki kursi rektor dalam ruangan khusus di kampus UINSU Prof Dr Nurhayati, M.Ag menancapkan cita-cita untuk memimpin selama dua periode. Juga menegakkan obsesi eskalatif ke jenjang jabatan lebih tinggi, Menteri Agama misalnya. Tetapi tekadnya untuk memberi bukti terbaik merealisasikan cita-cita pendirian perguruan tinggi agama Islam milik negara yang bertemali sejarah dengan perjuangan revolusioner umat dalam mendirikan Indonesia, ini, harus mensubordinasikan faktor apa pun, termasuk motif berkuasa lebih lama dan promosinya.

Prof Dr Nurhayati, M.Ag bukan orang baru di UINSU. Saya mengenal suaminya almarhum Prof.Dr Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA, mantan rektor UINSU, dan juga mengenal Prof Dr Nurhayati, M.Ag melalui beberapa kegiatan akademik sebelum ini. Karena itu saya yakin ia pasti tahu apa yang harus disarikan dari kinerja tak terselesaikan oleh pendahulunya, Prof Dr H Syahrin Harahap, MA dan secara eklektif menentukan yang mana saja untuk dilanjutkan.

Apa pula yang harus ditangkapnya dari gagasan-gagasan besar yang hidup dalam obsesi komunitas akademik internal (UINSU), tuntunan teknis dari Kementerian Agama sebagai representasi negara, dan tentu saja gaung besar tuntutan global sebagaimana kerap diteriakkan dengan ungkapan world class university yang memang amat kerap pula disalahfahamkan itu. Membaca kritis semua dokumen visi, misi dan agenda kerja yang diajukan oleh pesaingnya sangat perlu bagi Prof Dr Nurhayati, M.Ag.

Sepekan pertama mungkin itulah yang sangat mendesak. Meminta pertemuan secara bergantian dengan keleluasaan berdiskusi dengan semua calon rektor. Diketahui beberapa di antara calon itu berhomebase di luar UINSU. Gunakan fasilitas online untuk menjemput gagasan mereka yang dituangkan begitu bersungguh-sungguh di atas kertas yang menjadi “jaminan” atas kepesertaan mereka dalam kontestasi. Misalnya, saya belum mengklarifikasi, bahwa salah seorang di antara calon rektor itu pernah melontarkan gagasan akan menambah sebuah keterangan tambahan (di belakang nama UINSU) dengan nama seseorang dari tokoh heroik lama dalam sejarah perjuangan Indonesia hingga kelak menjadi Universitas Islam Sumatera Utara Si Singamangaraja.

Di kota-kota lain memang lazim seperti itu. Terdengar seakan kontroversial, tetapi saya yakin guru besar yang berucap itu tentu memiliki data yang kuat untuk tak tenggelam dalam polemik berkepanjangan dengan berbagai pihak. Prof Dr Nurhayati, M.Ag harus memastikan semuanya begitu erat berkaitan dengan kinerja mardhatillah dan agenda besar izzul Islam wal muslimin. Karena itu ia harus pula berulangkali memikirkan apa pun untuk tiba pada sebuat keputusan lebih maslahat di antara opsi-opsi sulit dalam rimba raya pengaruh terbingkai sistim Indonesia yang sedang anomalistik. Jelas ia membutuhkan kemandirian.

Tak seorang dapat bergembira jika ia harus lumpuh karena diktedikte imperatif dari luar mana pun, apalagi dari jembatan-jembatan rapuh politik situasional plus partisan-partisan yang lazimnya cenderung berpotensi melahirkan performance amat abusive. Hati-hatilah kepada mereka. “Pinjamlah” keberanian Laksamana Muslimah Pertama Dunia Malahayati dalam berdiplomasi kepada mereka. Mungkin taktik gerilya Tjut Njak Dhien begitu relevan dirujuk menghadapi situasi yang pasti segera dihadapi Prof Dr Nurhayati, M.Ag tak lama lagi.

*****

Ini sebuah pengandaian, tetapi saya kira sangat baik. Segeralah membawa resume pengembangan UINSU kepada Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Musha Rajeckshah. Berbicara program kepada mereka secara teknis sangat diperlukan. Semua organisasi keumatan, selain Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, perlu beroleh kesempatan untuk menyampaikan keluhan yang mereka simpan dalam diam selama ini karena risaunya menyaksikan “gonjang-ganjing” UINSU. Beri mereka jaminan: “ke depan no more problem”.

Saya sangat berharap Prof Dr Nurhayati, M.Ag tak akan tersinggung jika saya katakan bahwa sebuah universitas tidak identik dengan gedung dan jabatan jabatan serta tatakrama protokoler yang terkadang merangsek menjadi sarana feodalisme padahal sesungguhnya tak lebih dari instrumen belaka (itu). Kawah candradimuka yang tak boleh melemah dalam ijtihad-ijtihad akademik yang berani dan jujur ini tak harus tenggelam dalam kemendegan hanya karena bergegas dalam hal-hal yang tak relevan untuk menggapai mardhatillah dan perjuangan izzul Islam wal muslimin.

*****

Beberapa telah menghubungi dan atau bertemu dengan saya sekaitan dengan keterpilihan Prof Dr Nurhayati, M.Ag. Saya memilah substansi pembicaraan untuk tak perlu menanggapi jenis asa penggantang kekuasaan berending proyek. Salah satu di antara hal yang saya kemukakan ialah “bagaimana bunyi konsideransi Surat Keputusan Pengangkatan Rektor UINSU”. Bandingkan dengan konsideran yang termaktub dalam “Surat Keputusan Pengangkatan Wakil-wakil Rektor”. Juga dengan konsideran dan “Surat Keputusan Pengangkatan Dekan dan Lembaga setingkatnya”. Hubungkan pula dengan referensi lainnya, yakni regulasi yang berlaku. Pertanyaan saya setelah itu ialah, apakah ada regulasi yang secara filosofis-akademis salah kaprah di lingkungan Kementerian Agama hingga dianggap bahwa periodisasi jabatan para Wakil Rektor, apalagi para dekan dan jabatan setingkatnya, sama dan harus sama dengan masa jabatan Rektor?

Saya berargumen, jika seorang Presiden diimpeach di sebuah negara, implikasinya tak diharapkan sekaligus mengakhiri jabatan Wakil Presiden dan para gubernur, bupati dan walikota. Mungkin pengganti presiden yang diimpeach itu merasa perlu melakukan reshuffle kabinet sesuai kewenangan prerogatifnya. Itu baik-baik saja. Apakah statuta UINSU dan regulasi lainnya mengotomatisasi pergantian rektor dengan pergantian para wakil rektor, para dekan dan para pemimpin lembaga setingkat?

Banyak kerugian yang akan diderita karena itu kelak. Lagi pula, leadership akademik tentulah sangat jauh berbeda nuansa dan budaya dengan rezim birokratik yang dibangun atas nilai kontestasi politik berhasrat utama kekuasaan. Asumsinya ialah bahwa semakin leluasa sebuah lembaga ilmiah, apalagi kampus, menentukan kadar kontinum independensinya dari gangguan dan ancaman serius yang datang dari carut-marut anomali sistim dan budaya politik yang trend, akan semakin baiklah bagi dunia akademik. Insyaa Allah.