Gardamedannews.com- MEDAN-“ Lecturerku, Oppa!”. Ini sebuah judul drama roman dari Malaysia. Disutradari Fairuz Loy dan dibintangi Jang Han Byul bersama Sweet Qisimina. Drama ini menceritakan kisah cinta romantis yang penuh dengan intrik antara seorang dosen dengan mahasiswinya. Kendati banyak tantangan, akhirnya sang dosen dan mahasiswi bisa bersatu.
Jang Han Byul memerankan seorang dosen Fakultas Management Pariwisata. Ia seorang dosen berasal dari Korea Selatan, tapi fasih berbahasa Melayu. Tak sedikit mahasiswinya yang tergila-gila padanya. Namun, Jang Han Byul hanya menyukai seorang mahasiswi, Sweet Qisimina. Jalan terjal dan berliku pun dilalui keduanya.
Cerita drama ini ada sedikit kemiripan dengan kisah cinta Prof. Dr. Nurhayati, M.Ag, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Medan, yang baru dilantik beberapa hari lalu. Malah, kisah Prof. Nurhayati lebih unik, karena beda usia antara Nurhayati dan Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis (alm), suaminya, terpaut 20 tahun.
Romantisme berawal ketika Nurhayati diterima menjadi mahasiswi IAIN Sumut di Fakultas Syariah pada 1994. Waktu itu, Prof. Fadhil, ditunjuk Fakultas sebagai dosen Pembimbing Akademik (PA) Nurhayati. Hati Nurhayati sedikit gembira. Sebab, Prof. Fadhil adalah dosen terkenal jebolan S2 dan S3 di Universitas of California, Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat.
Saat itu, benih-benih cinta belum tumbuh di relung Nurhayati. Tapi, Nurhayati cukup salut dengan Prof. Fadhil yang memiliki wawasan yang luas dan cukup mengena ketika menyampaikan materi perkuliahan. Ketika semester I usai, Nurhayati menghadap Prof. Fadhil untuk mendiskusikan nilai dan mata kuliah selanjutnya.
Di sini, Prof. Fadhil terkesima. Nurhayati mampu memperoleh Indeks Perestasi (IP) 4.0. Sebuah perestasi yang sangat jarang diraih mahasiswa lain. Padahal, sebenarnya, Nurhayati ingin melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran bukan di IAIN. “ Wah, luar biasa. Kamu yang tak berminat masuk IAIN saja dapat IP 4.0, bagaimana kalau kamu benar-benar minat kuliah di IAIN, “ ujar Prof. Fadhil mengomentari kepintaran Nurhayati.
Prof. Fadhil pun tak menyia-nyiakan kepintaran Nurhayati. Dengan penuh kerendahan hati, Prof. Fadhil meminta Nurhayati agar bersedia menjadi guru privat bagi tiga putranya, Risyad, Naufal dan Fikri Lubis. Selain membantu ketiganya dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, Nurhayati juga diharapkan dapat menambah wawasan bagi ketiganya.
Setelah berfikir sejenak, Nurhayati pun menyanggupi permintaan Prof. Fadhil. Kelembutan dan perhatian Nurhayati terhadap anak-anak itu, membuat mereka betah belajar dengan Nurhayati. Bahkan, salah seorang anaknya, Fikri Lubis memiliki kedakatan emosional pada Nurhayati.
Pada 20 Mei1997, jiwa Prof. Fadhil benar-benar terguncang. Hari itu, isteri tercintanya, Dra. Mekar Sari Dewi alias Eka, menghadap Ilahi Robbi. Tentu, tak gampang bagi Prof. Fadhil menghadapi cobaan berat ini. Apalagi, saat itu, ketiga putranya membutuhkan perhatian khusus dari seorang ibu. Plus, Prof. Fadhil punya kesibukan luar bisa sebagai tokoh dan ilmuawan berperstasi internasional.
Berlatar pertimbangan yang matang, akhirnya Prof. Fadhil menjatuhkan pilihan hatinya pada Nurhayati. Mereka pun menikah pada 1 April 1999. Putusan menerima Prof. Fadhil sebagai suami, bukanlah “ijtihad” yang mudah bagi Nurhayati. Selain usia yang terpaut 20 tahun, juga pertimbangan sosial yang sering mengintip kehidupan tokoh terkenal.
Nurhayati tak bergeming. Ia yakin, “ijtihad cinta” nya akan menghasilkan buah manis. Ia tak perduli dengan kicauan burung, yang tak bisa dibedakan kapan ia menangis dan kapan ia bernyanyi. Nyatanya, putusan Nurhayati tak meleset. Selain berhasil mendidik anak-anaknya, Nurhayati juga mampu meraih Guru Besar atau Profesor, capaian tertinggi bagi civitas akademika.
Dari awal, sebenarnya Prof. Fadhil telah memberi isyarat, kalau Nurhayati adalah sosok yang mempengaruhi hidupnya. Dalam pidato pengukuhan Guru Besar-nya, Prof. Fadhil menyebut, “Dalam hidup saya, ada tiga wanita yang telah begitu banyak berjasa membantu saya dan menguatkan saya pada masa-masa sulit. Pertama dan utama adalah “emak” Siti Rafiah yang dengan pendidikan formal yang minim sekali bisa mendidik anaknya untuk berjuang mendapatkan pendidikan formal tertinggi. Kedua, (Almarhumah) Dra. Mekar Sari Dewi yang menjadikan pengorbanan menghadapi berbagai kesulitan yang silih berganti mendampingi suami sebagai kebahagiaan dirinya dan setelah suaminya sukses Allah yang maha kuasa memanggilnya pada usia prima. Ketiga adalah Nurhayati, M. Ag yang rela mendampingi saya penuh kesibukan serta mendidik anak-anak yang sedang membutuhkan bimbingan, “.
Dua tahun kemudian, Prof. Fadhil dan Prof. Nurhayati, dikaruniai buah kasih sayang keduanya. Bayi mungil itu pun diberi nama Maurits Arif Fathoni Lubis. Mungkin, penabalan nama ini dilatari nama seorang tokoh Prancis, ahli bedah specialis di bidang gastroenterology, dan pengarang buku The Bible, The Qur’an and Science. Prof. Fadhil berharap, putranya itu bisa menjadi tokoh di kemudian hari.
Harapan Prof. Fadhil itu bukanlah pepesan kosong. Kini, Maurits akan menyelesaikan studynya di Institut Tekhnologi Bogor (ITB) Fakultas Ilmu dan Tekhnologi Kebumian (FITB), Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika. Dalam diri Maurits terpancar semangat dan keluasan ilmu kedua orangtuanya. Kendati pun lingkup keilmuan yang diminati Maurits termasuk dalam katogeri eksakta. Namun caranya belajar, meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan sama persis dengan semangat orang tuanya.
Pada 2016, Prof. Nurhayati pun harus menghadapi kenyataan pahit. Suami tercintanya, Prof. Fadhil, menghembuskan nafas terakhir karena suatu penyakit. Saat itu, Prof. Fadhil menjabat Rektor UIN Sumut priode kedua. Apa boleh buat, Prof. Nurhayati harus mengarungi kehidupan yang timpang. Bersama dengan anaknya, Nurhayati harus tegar demi cita-cita suaminya. Dan, akhirnya ia pun berhasil membimbing anak-anaknya. Sedangkan ia sendiri berhasil menjadi Rektor UIN Sumut sebagai penyambung program suaminya yang tertunda.
Kayaknya tepat apa yang dikatakan Anonim, “Wanita seharusnya tidak seperti bulan yang setiap orang bisa melihatnya tanpa tertutupi apa pun, tapi wanita seharusnya menjadi seperti matahari yang membuat mata tertunduk sebelum melihatnya.”. Tar