Oleh : Hotmatua Paralihan
(Dosen di UIN Sumut)
Ushuluddin, Academik Tower
Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam yang disingkat jadi Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam (FUSI) salah satu fakultas “pasak bumi” dalam bahasa Tapanuli “urat ni tanoi”karena dipersiapkan sebagai tempat menyemai ilmu-ilmu dasar Islam di UINSU. Seperti Ilmu Kalam, Tasawuf, Al-Quran-Hadis, Filsafat Islam, dan lain-lain.
Sebagaimana Prof. DR. Dahlia Lubis, MA, salah seorang guru besar yang paling sempurna diplanet PTIKN se-Indonesia karena selain pintar, kaya, cantik, juga rendah hati pernah menyampaikan bahwa fakultas Ushuluddin core-nya (intinya) ilmu-ilmu (fakultas) di UIN.
Pernyataan itu terbantahkan secara ilmiah sebab selain fakutas ini mengkaji ilmu-ilmu prinsifdan dasar Islam, juga dilengkapi dan digerakkan oleh fitur-fitur ilmu berpikir seperti ilmu mantik, filsafat agar berpikir kritis, logis dan radikal.
Tidak heran mereka yang mempalajari rumpun ilmu ushuluddin inilah salah satu poros penginstal wajah buram planet bumi menjadi bentuk format ke arah yang lebih baik, asri modis dan penuh eksotis. Diantara mereka yang telah tercatat dalam tinta emas sejarah Islam dan namnya telah terukir sepanjang masa Jamaluddin Al Afghani, MuhammadAbduh, Rasyid Rida, Harun Nasution, dan Nur Cholish Madjid.
Jika dirunut sedikit ke belakang sejarah, para tokoh inilah yang mengurai pikiran beku seperti beton-beton besar kejumudan. Perhatikan saja apa yang dilakukan oleh Socrates berhadapan dengan kaum sofis dizaman Yunani. Faham ini tidak mengakui adanya kebenaran yang mutlak semua retif. Zaman modern ada Rene Des Cartes, (cogito ergo sum). Yeng membangkitkan semangat humanisme yang melawan arah filsafat barat yang sangat kental dengan warna teocenteris.
Menjadi ciri khas dan pewaris Ushusuluddin sebagai pewaris pengkajian ilmu ilmu filsafat umumnya memiliki kesamaan yang dapat dijadikan sebagai bagian dari sikapnya khas yaitu kritis, anti kemapanan, dan berpikir bebas, dialogis dan terbuka dalam perdebatan.
Beberapa hari lalu terjadi perdebatan dinatara dosen tentang satu peraturan Mentri Agama (PMA) di FUSI tentu terjadi pro daan kontra. Keputusan mentri secara internal sifatnya informatif dan instruksional namun demikian tidak selalu diterima tanpa keritik. Apalagi sebagai insan akademik, terlebih lebih fakultas Ushuluddin jangankan keputusan presiden keputusan Tuhan pun tidak akan luput dari perdebatan, tanpa ada ragu-ragu dan takut kualat.
Ditengah perdebatan itu karena iklim akademik berpikir bebas, ada seorang dosen senior yang berkomentar keputusan menteri dengan mesedikit agak “keras”. Karena kritiknya bersifat subjektif, tentu ada kontra. Salah seorang dosen lebih muda mengajak untuk debat sengit, diluar forum . Isi chatnya ajakan itu, kira kira isinya, “tidak bisa lepas dari aturan, sekalipun mau purna tugas harus terikat dengan kode etik,Jika Bapak tidak puas ayo kita berdebat sengit diluar forum ini. (keluar gurup WA Dosen Ushuluddin)”.
Lalu dibawah chat itu ada stiker kecil bintang laga Kung Fu dalam film berjudul, Ip Man 4 di 21. Terlihat Donnie Yensebagai bintang laga dengan siap sempurna fight, menggenggam dua tangan didada sambil menunduk persis seperti akan laga habis habisa akan dimulai.
Mungkin ajakan debat dan diiringi stiker bintang laga ini membuat sebagian yang dosen dan guru besar baca terkejut. Bahkan sebagian komentarnya terlihat dengan jelas ada terselip emosi dan sedikit dakwaan komentar ajakan debat itu telah keluar dari garis embarkasi dan demarkasi akhlak dan moral, etika apalagi ini dikaitkan fakultas ushuluddin.
Sejatinya ajakan itu biasa saja boleh jadi dosen muda mengajak dabat keluar karena dalam gurup kurang kondusif. Sebab disamping banyak professor yang harus dihormati juga tidak banyak yang punya kepentingan perdebatan itu diperpanjang karena sejatinya PMA tidak perlu diperdebatkan toh juga sudah selesai, dan diundangkan.
Cuap Cuap Berkualitas
Hampir semua komentar yang munculsifatnya kontra terhadap yang mengajak debat di luar forum. Tanggapan umumnya negatif tidak ada yang mendukung, bahkan ada yang setengah menghardik. Tetapi ada satu DR (inisial R) pemikirannya cukup “genit”, Ia alumni Ushuluddin ternamayaituSuska. Sudah pasti bahwa fakultas Ushuluddinberfungsi sebagai academic tower. Kegenitannya terlihat dalam komen chatnya terhadap yang mengajak debat keluar kira kira seperti ini : “kenapa keluar, disini aja”. “Ini penyataan loyalist”.
Komentar ini jelas terlihat bahwa warna pemikiran bermaksud untuk membenturkan pemikiran yang berbeda kutub dalam satu forum. Mungkin dalam konsep beliau pembeturan pemikiran itu dapat mengurai dan mengangkat argumentasi yang tersembunyi kepermukaan. Melalui topik sederhana tercipta dengan tidak sengaja langsung hangat.Kemjudian dia melanjutkan komentarnya, “tidak perlu ada minta maaf”. Pendapat ini sangat kita disetujui sebab selagi dialog dan debat masih berjalan dalam frekuensi yang linier maka itu fine saja
Selain dari warna pemikiran “genit” ini, ada juga satu warna yang cukup kontras. Chatingannya memang rasional namun sedikit bermuatan “emosi dan politis”. Dengan “nada dakwah” mereka memperingatkan yang mengajak debat kurang pantas dan perlu menjaga akhlak.
Sebenarnya hal itu juga dalam budaya akademik, harus dipelihara perlu menjaga keragaman. Satu rumus mentakan “sesuatu yang berbeda dipertemukan akan lahir sesuatu yang baru atau yang ketiga”. Namun jika “potret” (dihighligh)melalui zooming dan “sorot kamera” komentar ini sebenarnya menuduh bahwa chat ini telah keluar dari garis teritori akhlak, moral, etika bahkan sedikit kurang ajar. Karena ajakan debat tidak pantas kepada dosen senior.
Sampai diluar forumjuga terjadi percakapan dan terungkap ada yang mengatakan “2/3 dosen FUSI yang membaca chat mengajak debat di gurup dosen Fusi telah berlaku kasar dan telah keluar dari adab, dan akan tercatat dalam benak pikiran orang-orang fakultas”.
Sebagai dosen hemat saya komentar ini benar-benar sesuatu diluar dugaan (under estimatei)dan perlu dilakukan bedah fronsik pemikiran. Agar jangan sempat terjadi “fermentasi” argumentasi yang tidak pada tempatnya. Sebab jika hal itu yang terjadi akan menimbulkan “pembusukan” pemikiran.
Bukankah Socrates pernah mengatakan, filsafat salalu menjengkelkankarena selalu memperdebatkan yang statis. Socrates selalu berada dalam perbincangan dan perdebatan “cuap-cuap yang berkualitas” untuk menemukan kebenaran.
Perdebatan merupakan “keliaran” berpikir yang memungkinkan menemukan kekuatan argumen (power of argument) dan keaslinan (autentik) pengetahuan. Iklim inilah yang selalu menciptakan “partus” pemikiran aktual yang kontekstual.
Sebaliknya semangat monolog, ceramah, kumunikasi satu arah, sering memandulkan pikiran dan menciptakan keadaan stagnasi rasional apalagi dalam budaya akademik. Cara berpikir tidak boleh debat, tidak boleh dikritik, hal itu identik dengan cara orang saat hutbah jumat “hutbahisme”. Tentu jiwa dan karakter itu kurang tepatjika berada dalam konteks sekarang yang identik, terbuka dan objektif.
Ada juga cahting yang menganggap bahwa ajakan debat seperti itu diluar batas moral dan akhlak. Beberapa alasannya karena tidak pantas diajak dosen senior berdebat apalagi menggunakan kata-kata . “ karena,dekat Purna Bhakti tetap harus ada kode etik”.
Nalar yang biasa biasa saja dapat menangkap bahwa persoalan purna tugas dalam chatingan itu bahwa masih dalam koridor yang tepat sebab yang diperbincangkan tentang PMA. Tentu chatingan itu bukanlah bermaksud untuk mengajari dan mengingatkan bahwa semua PNS tetap terikat dengan kode etik Permen : Nomor 42 Tahun 2004, tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik. Apalagi pasal 9 poin c, melaksanakan setiap kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pejabat yangberwenang. Tentu tenpa terkecuali orang yang mau purna tugas.
Sekarang mari kita lihat sejatinya yang terjadi, apakah orang yang mengajak debat kepada dosen senior telah lepas kontrol, diluar akhlak. Khawatirnya orang yang menuduh tidak bermoral, atau telah keluar dari akhlak tapal batas moral, melewati garis pisah batas embarkasi akhlak.
Mungkin sedikit agak lucu karena sesungguhnya debat dan diskusi merupakan nadi Fakultas Ushuluddin. Saya sendiri pernah ditetapkan dekan FUSI dan prodi Pemikiran Politik Islam (PPI) sebagai pengampu mata kuliah Debat. Bahkan saya sebagai dosen yang bertanggung jawab akan tercapainya tujuan pembelajaran selalu mengatakan kepada mahasiswa, kalian semua yang telah dibagi yang pro dan kontra disilakan debat sampai “mati”.
Secara bahasa debat adalah pembahasan atau pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dikutip dari buku Pembelajaran Debat (2020) oleh Muhammad Zein Iqbal dan Herly Dayanti, debat adalah suatu proses komunikasi yang dilakukan secara lisan yang dinyatakan dengan bahasa untuk mempertahankan gagasan atau pendapat. Debat mencari pemenang sedangkan diskusi hanya menemukan kebenaran secara bersama-sama.
Debat sebuah kegiatan pencari kebenaran tanpa dikte dan beban akan melahirkan argumentasi yang segar seperti kueh hangat diambil dari tungkumasak (fress from kitchen). Pastinya debat merupakan sebuah “kuali pencampuran” (melting pot)ide dan gagasan yang bergam menjadi satu keputusan intelektual yang “kuat dan tahan lama” (argumentatif danvisioner). Tentu begitu pentingnya hal ini, jika debat dianggap kasar dan barbar, maka Ushuluddin akan bubar. Waalahu ‘alam bisawab.***