Moderasi Beragama: Dari Toleransi Menuju Gotong Royong

Akademik, Forum GDKK1352 Dilihat
Moderasi Beragama: Dari Toleransi Menuju Gotong Royong
Dr. Solahuddin Harahap, MA

Oleh: Dr. Solahuddin Harahap, MA

(Ketua DPP Gerakan Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan)

 Gardamedannews.com- MEDAN- Sebagai negara yang mengharuskan rakyatnya memeluk agama, maka pastilah secara konstitusional negara akan memberikan perhatian yang tinggi serta serius terhadap agama dan keberagamaan. Dilihat dari aspek historisitasnya, dapat diketahui bahwa kecenderungan beragama (menjadi seorang theis) telah merupakan bagian dari tradisi natural yang dimiliki masyarakat nusantara sejak sedia kala. Di samping itu, dalam tradisi filsafat kalam telah ditegaskan bahwa keinginan manusia untuk bertuhan telah diperoleh masing-masing sebagai fitrah pada penciptaan (takwiny), sehingga secara instingtif mendorongnya untuk mencari dan memeluk suatu agama.

Berdasarkan itu, maka keinginan untuk memeluk agama, serta menyelenggarakan hidup berdasarkan agama telah menjadi salah satu tradisi penting bagi masyarakat Nusantara. Memang, sejak awal terbangunnya masyarakat di Nusantara, telah pun terbangun keasadaran untuk mengenali dan mematuhi prinsip-prinsip luhur yang diperoleh dari alam Nusantara ini sendiri.

Nilai luhur yang dianugerahkan Tuhan kepada bumi Nusantara ini berupa kebaikan, harmoni, kekerabatan, kebersamaan dan kekeluargaan. Nilai-nilai ini sejak sekian lama telah bersemayam di dalam jantung masyarakat Nusantara, seterusnya dijadikan sebagai modal dasar dalam membangun prinsip-prinsip dasar hidup secara guyub, komunal dan bermasyarakat. Inilah yang dinamai kearifan budaya lokal (local wisdom) yang telah dimiliki masyarakat Nusantara, bahkan sebelum datangnya agama-agama yang diakui di Indonesia yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hucu serta aliran kepercayaan.

Jika demikian, maka kehadiran agama-agama di Nusantara, semestinya  dapat memperkokoh nilai-nilai luhur kemasyarakatan yang ada seperti kebersamaan, kekerabatan, harmoni dan kekeluargaan tersebut. Karena pada jantung ajaran setiap agama yang hadir ada seruan untuk saling menghargai, saling menolong, saling menghasihi demi untuk membangun kebersamaan. Meskipun faktanya, dalam beberapa hal kehadiran agama-agama disinyalir diduga mendgradasi sejumlah nilai luhur yang telah ada terlebih pada aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat.

DARI TOLERANSI KE GOTONG ROYONG

Penting untuk dipahami dan disadari bahwa secara substansial agama-agama yang ada tentulah bersumber dari satu saja yakni dari Tuhan Yang Esa. Sebab Negara Republik Indonesia telah menetapkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama yang harus dimiliki dan diperpegangi setiap agama dan setiap pemeluknya. Dengan begitu, tidak boleh ada pertentangan antar agama menyangkut prinsip Katuhanan Yang Maha Esa ini.

Karena faktanya bahwa agama-agama yang ada telah bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pencipta, Maha Pemelihara serta Maha Pengampun dan Penyayang. Maka dapat dipastikan bahwa setiap agama dapat saling bertemu pada nilai-nilai dan prinsip-prinip universal seperti kebaikan, keadilan, kehormatan, kemartabatan, kasih sayang dan kebersamaan yang sejatinya merupakan titisan dari karakter-karakter Agung Tuhan Sang Pencipta.

Dengan modal dasar ini sebenarnya, tidak ada halangan bagi pemeluk agama-agama, untuk dapat hidup bersama, dipenuhi harmoni dan kedamaian. Terlebih ketika agama-agama ini ternyata telah mendarat di Nusantara yang merupakan ruang dan waktu yang telah kaya akan nilai dan prinsip luhur kebersamaan, kemanusiaan dan kemasyarakatan sejak sedia kala.

Namun harus pula disadari bahwa setiap agama yang ada di Indonesia telah sama-sama memiliki dua dimensi yakni (1) esoterik yang cenderung substansial dan universal dan (2) eksoterik yang bersifat lebih operasional dan taktis percisnya di dalam ruang dan waktu. Dalam studi agama-agama yang populer, hampir semua pemeluk agama telah bersepakat bahwa pada dimensi esoteris semua agama dengan mudah dapat dipertemukan bahkan dalam beberapa hal justru telah mengarah pada integrasi dan penyatuan (one God one religion). Tetapi, tidak demikian halnya pada ranah eksoterik, dimana latar belakang pembawa risalah masing-masing agama telah berbeda dari segi masa, wilayah, budaya, bahasa dan alam pikir sehingga melahirkan kergaman makna, tafsir, metode, pendekatan, pola penyebaran, pola ritual hingga pola aktualisasi.

Dalam ranah ini, hampir tidak mungkin mendorong integrasi apalagi penyatuan agama. Sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun relasi, moderasi serta toleransi. Toleransi yang memiliki makna saling menghargai, saling menghormati, saling tenggang rasa terhadap pemahaman, keyakinan, ritutal serta aktualisasi ajaran agama yang berbeda-beda tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.

Upaya menjaga toleransi ini dapat dilakukan lewat dua strategi yakni: Pertama, strategi atas dengan mencari titik temu ajaran, memperbesar ruang kesamaan, memperkecil ruang bagi perbedaan apalagi pertentangan. Memajukan dimensi rasionitas, inklusifitas dan objektifitas ajaran agama-agama untuk kemudian dapat saling memahami, menghargai dan menghormati. Upaya ini dapat diselenggarakan lewat kerjasama dalam melakukan pengkajian, seminar, workshop, penelitian, penerbitan dan dialog.

Kedua, strategi bawah dengan membangun kemitraan pada ranah aksi sosial kemasyarakatan. Pemeluk agama-agama harus didorong untuk mengaktualisasikan prinsip hormat-menghormati, harga-menghargai lewat kerjasama, bahu-membahu, tolong -menolong, gotong-royong bahkan menerapkan tanggung renteng dalam mengatasi persoalan-persoalan kehidupan baik ekonomi, sosial, politik bahkan yang terkait keberagamaan.

Pemeluk agama-agama harus terlatih untuk melupakan sejenak perbedaan ritual, perbedaan penyebutan nama Tuhan, perbedaan rumah ibadah, pada saat mereka sedang bergotong-royong membangun tali air, membersihkan selokan, memperbaiki rumah dan lingkungan kumuh, mengatasi bencana covid, bencana alam serta ancaman dari patologi sosial lainnya. Para pemuda lintas agama, harus melupakan sejenak perbedaan hari besar agama, simbol agama masing-masing ketika sedang bergotong royong mengatasi macet karena pesta, kemalangan atau karena kerusakan jalan, demikian seterusnya dalam pengatasan masalah di berbagai aspek kehidupan.

Jika masyarakat mampu menciptakan sebanyak-banyaknya momentum yang membuat pemeluk agama-agama dapat lebih fokus pada kegiatan yang berorientasi sosial dan kamusiaan, maka nilai dan prinsip saling menghargai dan saling menghormati bahkan saling membutuhkan, akan segera tumbuh menjadi sikap, pendirian, citra diri serta jati diri masing-masing individu dalam agama-agama. Jati diri individu ini kemudian akan dapat direvitalisasi menjadi modal sosial dalam membangun masyarakat yang menjadikan hormat-menghormati, harga-menghargai, tolong-menolong aerta bergotong royong sebagai jadi diri bersama seterusnya menjadi tradisi dan budaya bersama yang penuh hikmah dan kearifan. Inilah sesungguhnya yang merupakan cita-cita luhur kita, ketika moderasi beragama telah menjadi bagian dari etika sosial masyarakat kita pada semua level dan ranah.

PENUTUP

Toleransi harus bergerak dari sekadar slogan menuju komitmen. Dari sekadar tukar-menukar informasi menjadi saling mengedepankan aspek inkluaifitas dan wajah ramah agama. Toleransi juga harus mengejawantah dari forum-forum, riset-riset, situs-situs, website-website menuju momentum-momentum pesta bersama, membangun rumah bersama, memperbaiki sarana dan prasarana lingkungan hidup bersama, menyelesaikan persoalan keuangan, bisnis dan kesehatan bersama dan seterusnya. Melalui cara itulah toleransi antar umat beragama akan dapat bergerak lebih maju menjadi gotong-royong antar umat beragama. ***